Senin, 22 Maret 2010

PERAN KONTEN LOKAL DALAM PENDIDIKAN


PERAN DAN PENGARUH KONTEN LOKAL DALAM PROSES PENDIDIKAN


“Waalaikumsalam git,, ko tumben nelepon gilang?” begitulan reaksi adik saya ketika saya meneleponnya untuk menyakan sesuatu hal mengenai tugas kampus. Dalam percakapan yang lebih dari 20 menit memberikan saya inspirasi dalam mengerjakan tugas tersebut.

Di era digital, teori global village yang dikatakan Friedman dalam buku The World is Flat terbukti. Global village telah menyebabkan dunia tidak memiliki tapal batas sedikit pun. Berita yang terjadi di kutub selatan akan terekspos hanya dalam hitungan menit. Tidak hanya informasi, segala jenis budaya, nilai, dan idiologi akan dikonsumsi dengan menggunakan internet, TV, HP, dan majalah dengan mudahnya. Media itulah, yang kini bisa mempengaruhi pola pikir dunia dengan mudah. Dengan Internet pula, kita dapat melakukan sosialisasi, menawarkan semua potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, baik potensi alam, pariwisata, kebudayaan , pendidikan maupun kesenian yang begitu banyak kita miliki. Berbicara mengenai potensi yang dimiliki Indonesia,belum tentu kalah dengan bangsa lain, yang menjadi permasalahan adalah mampukah kita mengkomunikasikan dan menawarkan daya saing bangsa yang kita miliki ini ke negara lain agar tertarik untuk melihat Indonesia yang sesungguhnya? Dalam banyak hal, terutama di dunia Internet, fitur yang disediakan atau petunjuk-petunjuk yang ada, rata-rata menggunakan bahasa Inggris atau konten-konten yang jauh dari nilai-nilai keindonesiaan. Padahal, bahasa dan kekuasaan adalah satuan yang tidak terpisah. Bahasa mencirikan status social dan bahasa pulalah yang bisa membantu kita mengidentifikasi siapa yang berbicara; politisi, rakyat bisa, guru, mahasiswa dan lain sebagainya. Bahasa yang disampaikan lewat media seperti teks, buku, radio, koran, dan televisi tidak diragukan lagi menjadi unsur yang paling berperan dalam membangun konstruksi berpikir para pembaca, pendengar dan penonton dalam kehidupan sehari-hari. Namun bahasa juga seperti manusia dan media, tidak pernah lepas dari kepentingan dan nilai tertentu.



Disamping mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam situs-situs atau petunjuk di internet, konten local juga berkaitan dengan cara penyampaian suatu media/program dalam bahasa Indonesia. Ketika saya bertanya pada adik saya, “de, tau ga film jalan sesama?”, “tau dede, emang kenapa?”, saya pun bercerita sedikit “itu kan sebenernya film dari luar negeri, de. Trus bahasanya ga pake bahasa Indonesia”. “Engga ko, pake bahasa Indonesia ada Momon, Putri, Jabrig, Tantan, dokter Susan, Pa Bagus, Ica sama satu lagi pembantunya, dede lupa namanya” kemudian saya bertanya mengenai apa saja yang ditonton ketika menonton program televisi SESAME STREET (Jalan Sesama) yang ditayangkan setiap hari Senin hingga Jumat pukul 13.30-14.00 di Trans7, ia pun menjawab “Ada tebak-tebak benda, trus ada nyanyi-nyanyi bahasa daerah juga, trus ada cerita-cerita daerah”

Begitulah sebagian dari kutipan pembicaraan saya dengan adik saya. Sebuah penggugahan konten luar yang diadopsi menjadi konten daerah. Sejauh ini, program acara yang berasal dari luar namun ditayangkan dalam bahasa Indonesia yang lebih mendidik dan variatif sudah cukup banyak. Seperti Dora the Explorer, Sesame Street ataupun SpongeBob. Dalam tayangan-tayangannya terselip misi pendidikan yang sedikit demi sedikit tercapai. Misalnya dalam program TV sesame street terdapat cerita mengenai Pak Ogah yang meminta uang ketika dijalanan. Menyadarkan pada anak-anak untuk tidak seperti itu dalam bertindak. Mengenyampingkan kemalasan. Contoh lain adalah dalam suatu episode menggambarkan Momon ingin belanja, dan Jabrig mengajaknya ke pasar tradisional untuk membeli baju batik dan mainan wayang. Hal ini megajak pada anak-anak untuk lebih mencinta budaya dan corak Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.

Selain pemaparan diatas, mengenai kebahasaan memang sangat erat dengan konten local yang diusung untuk lebih mendominasi kedaerahan. Misalnya saja, adik saya bersekolah di daerah Sunda, yaitu di Bogor, dia bercerita ketika Gurunya bercerita mengenai tokoh Sangkuriang yang menggunakan bahasa Sunda. Yang kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputarnya menggunakan bahasa daerah (sunda). Dia tiak bisa menjawabnya karena tidak mengerti.

Hal tersebut dilakukan oleh gurunya untuk menanamkan nilai nasionalisme dan kedaerahan yang kental dalam system pengajarannya. Namun adik saya belum dapat memahaminya sehingga memang diantara nilai-nilainya, pelajaran bahasa sundalah yang paling kecil. Banyak diantara orang tua yang memberikan kursus pada anaknya yaitu kursus bahasa asing/bahasa Inggris.Mereka berfikir dengan menguasai bahasa asing, anak-anak mereka akan diterima dimasyarakat dan banyak kesempatan yang di raih ketika anaknya menguasai bahasa Inggris. Namun akan dibawa kemana konten-konten local dan bahasa kedaerahan yang ada, jika mayoritas anak-anak Indonesia malah menguasai budaya dan bahasa asing????

Mulailah memikirkan tentang plar-pilar kedaerahan dan konten-konten local yang kian hari kian kurang dihargai dan kurang diminati oleh masyarakat Indonesia. Padahal justru konten lokallah yang membangun pendidikan dan fasilitas pendukung pendidikan Indonesia

jadi, janganlah sekali-kali meremehkan konten lokal dan janganlah berbangga hati dengan mengkonsumsi konten luar, karena Konten lokal juga memiliki nilai yang berharga dibandingkan konten "luar"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar